Twitter
RSS

They Call Me... (So Many)

2
Gara-gara ada seseorang yang memanggilku: "Diniaaa..." (walaupun kedengarannya tanpa H) di jalan tadi sore, aku jadi teringat pada panggilan/sebutan yang dialamatkan untukku dari mereka, orang-orang yang ada di sekelilingku. Yang aku ingat, ada beberapa sih. Langsung aja lah.

DINI
Panggilan umum. Biasa aku gunakan kalau aku memperkenalkan diri pada orang lain. So, kebanyakan teman memanggilku DINI. 


ADE, ENU, JUNOT, TETEH, KONDE
Di rumah dan keluarga (om dan tante) aku lebih banyak dipanggil ADE (walaupun aku punya ade, dua orang pula). Ini panggilan dari kecil. Tapi 4 tahun lalu, sejak adikku yang kedua sudah bisa panggil-panggil aku, entah dari mana keluarlah kata ENU dari mulutnya. Akhirnya, ayah dan ibuku jadi ikut-ikutan deh sampai sekarang. Kalau kakakku tetap konsisten dengan panggilan ade-nya atau kadang-kadang JUNOT untukku. Dia doang yang manggilnya begini nih nih nih. Nah, adikku yang pertama yang paling sopan, panggil aku TETEH. Goodgirl!! hehe. KONDE, cuma Uncle Ndin (pamanku) yang biasa panggil aku dengan sebutan itu karena dulu mantan pacarnya, Tante Dede, dipanggil konde juga sama UNcle N. 


KUWU, BUKUWU, BU
Kata orang Sunda, kuwu artinya lurah. Teman-teman kampusku lah yang suka panggil aku dengan sebutan KUWU, BUKUWU, atau BU. Awalnya, gara-gara waktu jadi mahasiswa baru ada kegiatan wajib di fakutasku, PAM (Penerimaan Anggota Muda). Lalu ada semacam acara pemilihan gitu, namanya Pemilihan Pakuwu dan Bukuwu yang tujuannya aku sendiri sedikit bingung. Yang pasti, kalau ada apa-apa, Tatib kampus suka panggil Pa-Bu Kuwu. Atau kalau lagi baris dan barikade pemulangan tiap selesai acara, Pa-Bu Kuwu disuruh baris paling depan. Pa-Bu Kuwu juga harus pake costume tambahan (selain kemeja kotak-kotak beserta atribut) yang terbuat dari trashbag lengkap juga dengan atribut tongkat dsb, yang kalau aku jalan pasti bunyi 'kresek kresek' (penderitaan, oh no..!). Oia, partnerku si Pakuwu alias Randi itu orangnya berkharisma banget lho. hahaha. 


CIL, BOCIL, ACIL
Kalau panggilan ini tercetus dari mulut teman-teman karena melihat penampakanku, haha. Dari beberapa teman, si Wewe lah yang paling rutin pake panggilan CIL, BOCIL maupun ACIL. Sukanya cal cil cal cil aja dia mah. 


DINDUN, OCHIEM
Panggilan sayang dari Icha, dan aku pun juga punya panggilan sayang buat Icha --> Ichaanakbujidat. Inget ga lo Cha, dulu sampai pernah nulsi opini tentang gw dan lo sebut gw DINDUN aka OCHIEM?? hah hah hah? (pasti lupa deh) huh. 


DUL dari DUDUL
Ini dari Yulia. Katanya aku ini DUL. Entah bagaimana awal mulanya. Dasar kau, Ndooouu!! 


DINOOO, DINOT
Kayaknya cuma Nanda dengan DINOOO nya dan Rama dengan DINOT nya yang kepikiran dengan panggilan itu. 


DINCE
Yaa, udah kebaca kan dari tulisannya, teman-teman macam apa dan di lingkungan macam apa aku biasa dipanggil DINCE, hahaha. Tapi ini lucu :D 


DINIMOT
Ini panggilan dari teman SMA ku dulu, Dudit aka Adut namanya. Dia panggil aku DINIMOT karena kadang-kadang (eh apa sering ya? kikikikk) aku suka ga nyambung kalau diajak ngomong. Maklum lah, kalau lagi ngobrol santai dengan teman-teman, pikiranku suka entah berantah mikirin yang lain. Underline, Bold kata 'santai'. kalau ngobrolnya serius aku nymabung ko ^^v beneran! 


TE DINN
Kadang-kadang aku dipanggil TE DINN oleh adik salah satu teman kampusku. Rini, ia adalah penggagas nama ini, hehehe.

Itulah tadi panggilan-panggilan yang dialamatkan mereka untukku. Masih ada beberapa lagi nih nih nih seperti BUKETU, DINI YAH, INAYAH, DINTUL, BEAUTIFUL GIRL, CUTE GIRL, UNFORGETTABLE and many more... (sumpah yang 3 dari belakang itu aku ngarang, hahaha). Terima kasih semua atas panggilan/sebutan yang so many ini :) :) :)
 

Saguling dan Tentang Skripsi

7
Berdiri di atas jembatan dimana sisi kiri jembatan ini terlihat kering, sementara di sisi kanan terisi penuh air. Bendungan/Waduk Saguling...
Sebenarnya pengalaman ini saya alami 5-6 bulan lalu. Teringat kembali dalam benak saya, ketika itu saya sedang disibukkan (dan kadang-kadang sok sibuk sendiri, hehe) dengan penelitian untuk menyelesaikan skripsi. Ya, di Waduk Saguling lah sedikit banyak saya menghabiskan waktu penelitian saya yang lamanya sekitar 2 bulan. Sekedar informasi saja, di Waduk Saguling ini saya meneliti tentang bagaimana adaptasi petani yang terkena dampak pembangunan PLTA Saguling yang dikaitkan dengan pendapatan mereka.

Jadi, sebelum dibangunnya Waduk Saguling (tahun 1980-an), daerah yang digenangi Waduk Saguling kini, dahulunya merupakan daerah persawahan di mana penduduk yang tinggal di sekitarnya bermatapencaharian sebagai petani. Lalu setelah dibangunnya waduk mau tidak mau petani-petani tersebut terkena dampak, baik kehilangan tempat tinggal, kehilangan lahan darat, lahan sawah, dan sebagainya. Dampak yang paling dirasakan petani adalah menurunnya pendapatan karena sawah yang biasa digarap terpaksa harus digenangi air waduk. Ternyata berbagai upaya (adaptasi-red) telah dilakukan petani sejak dibangun waduk hingga saat ini. Tentu saja upaya tersebut dilakukan petani sebagai manusia yang memiliki daya kelenturan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dalam hal ini, ya perubahan karena adanya Waduk Saguling dan upaya untuk tetap dapat memperoleh pendapatan. Pertanyannya, seperti apa upaya yang dilakukan petani dalam menghadapi dampak pembangunan PLTA Saguling? faktor-faktor apa yang mempengaruhi petani melakukan adaptasi? serta apakah adaptasi yang mereka lakukan merupakan langkah terbaik dalam menyelesaikan persoalan yang ditimbulkan dari adanya pembangunan PLTA Saguling terkait dengan mata pencaharian dan pendapatan? Kalau penasaran dengan kelanjutannya, silakan baca skripsi saya aja ya, hehe :D

Waduk Saguling merupakan waduk yang dibangun di aliran Sungai Citarum (sungai terpanjang di Jawa Barat itu lho). Pembangunannya dimulai pada tahun 1981 dan danaunya mulai diisi pada bulan Februari 1985. Menurut data PPSDAL Unpad tahun 2009, luas Waduk Saguling 5.607 ha, panjang maksimal 18,4km, lebar rata-rata 3,0 km, kedalaman maksimal 90 km, kedalaman rata-rata 17,5 km, dan volume maksimalnya 982x10(pangkat 6) meter kubik. Tujuan pembangunan Waduk Saguling ini adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik sehingga digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Tenaga listrik yang dihasilkan PLTA Saguling pada tahap pertama sebesar 700 MW dengan total energi rata-rata pertahun sebesar 2.158 juta KW jam, yang kemudian ditingkatkan menjadi 1.400 MW.

Selain dimanfaatkan sebagai PLTA, masih banyak lagi pemanfaatan Waduk Saguling dan salah satunya adalah untuk budidaya perikanan Keramba Jaring Apung (KJA). Ikan yang dibudidayakan di Waduk Saguling memiliki trend sendiri. Maksudnya, dahulu ikan mas lah yang paling banyak dibudidayakan di sini, kemudian berganti dengan ikan nila karena mulai terjadinya pencemaran. Menurut petani, ikan nila ini lebih tahan terhadap adanya pencemaran. Tapi bukan berarti petani yang membudidayakan ikan mas sudah hilang sama sekali, masih ada kok. Nah, selain ikan mas dan ikan nila saat ini petani juga sudah mulai membudidayakan ikan patin, yang konon katanya lebih tahan lagi dengan pencemaran dan lebih menguntungkan petani. Produksi ikan dari Waduk Saguling ini biasanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat dan dikirim ke Bandung, Jakarta, bahkan untuk ekspor (seperti babyfish). Wah, bisa jadi ikan yang biasa kita makan di rumah berasal dari Saguling nih. Pencemaran yang terjadi di Waduk Saguling juga menyebabkan tidak sedikit petani yang gulung tikar alias bangkrut. Walaupun jumlah KJA di Waduk Sagulig tidak sebanyak dahulu, kita masih dapat melihat KJA-KJA ini di beberapa lokasi.

KJA yang terdapat di Desa Bongas, Kecamatan Cililin, Bandung Barat (di dekat rumah Pak Ridwan dan Bu Enung)
Oia, hampir lupa, selama penelitian saya tinggal di rumah Bu Enung, salah satu warga Desa Bongas (homestay gitu certanya, hehe gaya). Maklum lah, kalau harus pulang pergi kosan di Jatinangor-Cililin setiap hari lumayan jauh juga (2 jam perjalanan motor). Bu Enung ini seorang guru, sosoknya baik, antara usia dan penampilan agak ga sinkron, anak muda banget deh tapi tetap bijaksana walaupun usianya hampir setengah abad. Bu Enung dan keluarganya ramah banget lho. Selain banyak dibantu oleh Bu Enung saya juga dibantu oleh Pak Ridwan yang juga warga setempat dan masih memiliki hubungan keluarga dengan BU Enung (terimakasih Bu Enung, terimakasih Pak Ridwan). Sehari-hari Pak Ridwan ini menjaga warung kecil dan toko peralatan perikanan miliknya yang terletak di tepi waduk. Beliau juga rutin memberi makan ikan-ikan di KJA-nya. Beliau juga lah yang memberi tahu saya bahwa ternyata Bendungan Saguling itu sendiri dan kantor yang mengelolanya masih berjarak tempuh 1,5 jam perjalanan motor (tepatnya di Rajamandala) dari Desa Bongas, tempat saya menginap. Untungnya saya masih sempat ke sana walaupun hanya 2 kali. Kira-kira akankah saya kembali dapat menginjakkan kaki di tempat itu yah? 

it was truly awe-inspiring..